MATHEMATICS

Rabu, 25 September 2013

Berfilsafat : Mengolah Pikir, Mengolah Rasa, Mengolah Hidup

“Berfilsafatlah dengan segenap jiwa ragamu. Itulah maka sebenar-benar filsafat adalah refleksi hidupmu sendiri.” (Prof. Dr. Marsigit, M.A.) 

Acapkali ketika mendengar istilah ‘filsafat’ serta merta orang mengaitkannya dengan berpikir tingkat tinggi, beretorika atau hal-hal yang sulit dipahami dengan akal pikiran yang biasa. Akibatnya seringkali orang lebih cenderung menghindari ‘filsafat’. Hal ini tidak lepas dari kecenderungan kebanyakan orang yang tidak mau bersusah payah untuk berpikir tentang sesuatu secara mendalam. Orang cenderung memilih sesuatu yang instan dan pragmatis, tidak mau repot-repot bahkan sekedar untuk mempertimbangkan pilihannya. 

Mengapa berfilsafat itu penting? 
Berfilsafat itu berolah pikir. Ini berarti menggunakan segenap akal budi dan pikiran dalam memandang segala sesuatu. Oleh karenanya berfilsafat itu sebenarnya diperlukan dalam kehidupan sehari-hari. Sejauh manusia membutuhkan pencerahan hidup yang dituntun terang akal budi, maka filsafat akan selalu dibutuhkan oleh manusia. Sebenarnyalah filsafat adalah kehidupan itu sendiri. Filsafat akan menyerta dalam setiap kehidupan manusia. Filsafat akan menuntun manusia untuk berpikir dan berefleksi secara mendalam untuk menemukan makna terdalam hidup – hakekat hidup dan kehidupan itu sendiri. Maka benarlah apa yang disampaikan Prof. Dr. Marsigit M.A. bahwa sebenar-benar filsafat adalah refleksi hidup manusia itu sendiri. 

Bagaimanakah berfilsafat yang benar itu? 
Menurut Prof. Dr. Marsigit M.A. berfilsafat yang benar dan terarah adalah berfilsafat sesuai dengan konteksnya. Cara setiap orang berfilsafat akan berbeda satu dengan yang lain, tergantung latar belakang orang yang bersangkutan. Tentu saja orang yang beragama Islam akan berbeda filsafatnya dengan orang Yahudi, berbeda pula dengan orang Kristiani. Filsafat orang yang tidak beragama berbeda dengan orang yang beragama. Cara orang dari suku Jawa berfilsafat tentu berbeda dengan orang yang bersuku Batak atau suku Sunda dan lain sebagainya. Dengan kata lain, orang berfilsafat dipengaruhi oleh konteksnya masing-masing. Filsafat itu merupakan olah pikir yang masih terbuka secara spiritual maupun non spiritual. Kiranya satu hal yang penting dalam berfilsafat adalah orang harus meletakkan spiritual sebagai fondasi atau dasar dan sekaligus muara dalam berfilsafat. Setinggi-tingginya pengembaraan pikiran dalam berfilsafat tetap masih dalam kerangka berspiritual. Bagaimanapun di atas langit filsafat masih ada langit spiritual. Berfilsafat semestinya diarahkan agar manusia dapat semakin mudah menemukan Tuhan Sang Pencipta semesta, supaya manusia semakin dekat dan menyatu dengan Sang Hidup sendiri. Find God in all things, demikian seperti disampaikan oleh St Ignatius Loyola salah seorang pujangga gereja, pendiri ordo Jesuit. 

Kesadaran syarat awal berfilsafat 
Seperti sudah disinggung di depan, filsafat akan menuntun manusia untuk berpikir dan berefleksi secara mendalam untuk menemukan makna terdalam – hakekat tentang sesuatu hal. Untuk bisa memahami hakekat tentang sesuatu hal, manusia harus mempunyai kesadaran akan sesuatu hal tersebut. Oleh karenanya syarat awal berfilsafat adalah kesadaran. Untuk menggapai hakekat, manusia harus mampu meletakkan segenap kesadarannya di depan mereka. Agar dapat menyadari tentang hakekat-hakekat itu, manusia harus menerjemahkan dan diterjemahkan mereka dan dirinya dalam ruang dan waktu. Hal ini dapat dilakukan dengan cara berkomunikasi dengan diri sendiri secara mendalam lewat membaca, berpikir secara mendalam, merenung, berefleksi, berkontemplasi. 
          Memiliki kesadaran berarti mempunyai orientasi akan ruang dan waktu. Mengenal dimensi ruang dan waktu. Di dalam berfilsafat manusia melakukan berbagai eksperimen dengan melakukan manipulasi–manipulasi ruang dan waktu. Mengetahui ruang dengan waktu dan waktu dengan ruang. Dalam filsafat ada permaianan ruang dan waktu. Namun demikian dalam filsafat tetaplah menghargai sopan dan santun terhadap ruang dan waktu. 

Bahasa filsafat – bahasa analog 
Filsafat itu penjelasan! Dalam filsafat kadang yang penting bukan jawabannya, tapi penjelasannya. Sebagai contoh, atas pertanyaan dari mana asalmu? Kita bisa menjawab berasal dari masa lalu, pun bisa menjawab berasal dari masa depan. Sejauh bisa menjelaskan, maka jawaban yang manapun benar. Untuk dapat menjelaskan dengan baik, manusia membutuhkan bahasa yang mudah dimengerti dan mudah dipahami. Sayangnya, bahasa manusia itu sakit - mempunyai kelemahan, tidak bisa digunakan untuk mengungkapkan semua hal. Penyakit kebahasaan ini tidak lepas dari kekurangan dan ketidaksempurnaan manusia di dunia. Untuk mengatasi keterbatasan ini, maka filsafat menggunakan bahasa analog. Bahasa analog dipandang mampu mengkomunikasikan unsur-unsur dalam dimensi yang berbeda. Budaya manusia menjadi berkembang karena bahasa analog. Sebagai contoh mantan adalah bahasa analognya bekas. Tentu kita tidak pas jika menyebut presiden yang tidak lagi menjabat misalnya dengan bekas presiden, tetapi kita akan menyebut sebagai mantan presiden. Demikianlah, bahasa dimensi atas digunakan untuk bahasa dimensi rendah tidak cocok, pun sebaliknya. Jika demikian yang terjadi maka hidup tidak akan selaras. Oleh karena itu bisa dikatakan bahasa analog dapat membangun keselarasan dalam hidup. Kerapkali banyak hal lebih mudah dijelaskan dengan bahasa analog agar mudah dimengerti dan dipahami. Kisah pengajaran Yesus kepada para muridnya seperti diwartakan dalam kitab Injil banyak disampaikan dengan perumpamaan-perumpamaan – dengan bahasa analog. Karena dengan begitu ajaranNya bisa dikomunikasikan dalam berbagai dimensi yang berbeda. 
       Akhirnya, berfilsafat itu mempunyai daya bongkar dan daya dobrak yang luar biasa terhadap segala macam kemapanan, baik kemapanan pemikiran dan kemapanan-kemapanan yang lain, bahkan kemapanan hidup. Mungkin inilah salah satu alasan mengapa berfilsafat sering dihindari, sebab orang tidak mau terusik dari zona mapannya. Dan ketika orang berhenti berfilsafat maka sebenarnya kehidupan itu mandeg! Karena itu berarti orang berhenti berpikir, berhenti berefleksi – berhenti merenung seperti gunung di kedalaman kontemplasi. Lantas apa artinya hidup? Bukankah hidup yang tidak pernah direfleksikan tidak layak untuk dihidupi?@ 

Sriyanta 
Mahasiswa PPs UNY 
Pendidikan Matematika Kelas B 
NIM 13709251034

Tidak ada komentar:

Posting Komentar