MATHEMATICS

Rabu, 06 Agustus 2008

MIPA Tidak Membumi (?)

Kompas, 31 Agustus 2002 yang lalu memuat tulisan seorang siswa SD yang berjudul “Monster Matematika”. Tulisan itu mengungkapkan bahwa matematika yang diajarkan di sekolah itu membosankan, nyebelin, dan tidak menyenangkan. Gurunya kadang galak, dan suka mencela apabila siswa tidak bisa mengerjakan soal. Meskipun sudah berusaha dengan mengikuti les, memperhatikan ketika guru mengajar, mengerjakan PR ataupun soal-soal latihan, tapi nilai yang diperoleh siswa tetap saja “jeblok”. Sebuah ungkapan hati yang polos dan jujur tentang matematika. Sebagai seorang guru matematika, penulis merasa tersentuh, trenyuh dan prihatin sekaligus tertampar. Itulah potret pembelajaran matematika di sekolah kita.


Selama ini pelajaran matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (MIPA) seringkali menjadi “momok” bagi sebagian besar siswa. Siswa merasa takut dengan pelajaran MIPA, khususnya matematika. Stereotif bahwa pelajaran MIPA adalah pelajaran sulit telah menyebabkan pelajaran MIPA tidak dipandang secara obyektif lagi. Seolah MIPA identik dengan “sulit”. Ketidaknetralan MIPA sebagai ilmu pengetahuan salah satunya dipengaruhi oleh guru yang mengajarkan MIPA. Seringkali sebenarnya ketidaksenangan siswa terhadap pelajaran MIPA disebabkan oleh guru yang galak, terlalu cepat dalam menyampaikan materi ajar ataupun monoton, kurangnya variasi dalam pengajaran. Sehingga siswa merasa takut, jenuh dan tidak tertarik untuk mempelajarinya secara lebih mendalam. Jadi sebenarnya, yang menjadi “momok” adalah guru, bukan pelajaran MIPA itu sendiri. Karena pada dasarnya sebagai ilmu pengetahuan MIPA bersifat netral.

Terkait dengan pengajaran MIPA, Mendiknas A. Malik Fadjar menilai bahwa cara pengajaran MIPA yang dilakukan guru selama ini hanya melahirkan hafalan dan bukan melatih olah pikir. Akibatnya, meskipun sudah mempelajari MIPA, siswa tetap saja tidak bisa berasosiasi atau memiliki gambaran yang jelas yang dihasilkan oleh olah pikirnya. Tidak mengherankan apabila pelajaran MIPA menjadi sesuatu yang membosankan(Kompas, 3 September 2002).

Namun tidak adil rasanya, kalau permasalahan yang terjadi dalam pembelajaran MIPA hanya ditimpakan kepada para guru sebagai faktor penyebabnya. Perlu kiranya untuk mengedepankan pertanyaan, mengapa cara pengajaran guru MIPA hanya melahirkan hafalan dan bukan melatih olah pikir siswa? Untuk menjawab pertanyaan tersebut, tidak bisa hanya melihat MIPA secara partial saja. Tetapi MIPA harus dilihat sebagai bagian integral dari proses pendidikan yang berlangsung di negeri ini. Dan hubungannya dengan itu, materi pelajaran MIPA yang sangat padat tidak terlepas dari kurikulum pendidikan yang digunakan. Harus diakui bahwa kurikulum pendidikan yang berlaku sangat padat dan cukup sulit. Menurut Drost (1998), kurikulum SMU 1994 hanya dapat diikuti oleh 30% siswa. Tanpa kecuali kurikulum MIPA. Seolah semua materi ingin diberikan kepada siswa. Selain itu kurikulum MIPA juga tidak sisematis dan tidak berkelanjutan.

Akibatnya praksis pengajaran MIPA di sekolah masih didominasi proses transfer pengetahuan. Materi yang banyak dan sulit dan tuntutan menyelesaikan seluruh materi ajar telah membuat guru kehilangan kreativitasnya dalam pengajaran. Yang terjadi adalah guru mengajar dengan cepat, namun tidak mendalam. Tidak berani bereksplorasi dengan berbagai variasi metode pengajaran. Pembelajaran MIPA dilakukan dengan pola instruksi bukan konstruksi dan rekonstruksi pengetahuan (Rohandi, 1998). Bahkan tanpa memberikan tempat bagi siswa untuk menentukan sendiri kearah mana siswa ingin bereksplorasi dalam menemukan pengetahuan yang bermakna bagi dirinya. Tuntutan untuk memperoleh nilai tinggi dalam ujian, telah menghasilkan pembelajaran yang melahirkan siswa yang pandai menghafal konsep-konsep dan rumus-rumus. Siswa hanya berlatih soal-soal yang biasanya digunakan dalam berbagai tes, tanpa mampu menggali pengetahuan sendiri dan menerapkannya dalam memecahkan persoalan yang dialami dalam kehidupan kesehariannya.

Pada hakekatnya pelajaran MIPA mencakup tiga aspek. (1) aspek produk, yaitu prinsip-prinsip, hukum-hukum dan teori atau konsep di dalam pelajaran MIPA. (2) aspek proses, yaitu metode atau cara yang digunakan untuk memperoleh pengetahuan. (3) aspek sikap, yaitu sikap keilmuan yang merupakan berbagai keyakinan, opini dan nilai-nilai yang harus dipertahankan oleh orang yang mempelajarinya. Namun kecenderungan yang terjadi dalam pengajaran MIPA di Indonesia lebih menekankan pada aspek produk MIPA. Prinsip, hukum dan teori lebih ditekankan dan mendapatkan porsi yang lebih besar dan dominan, sehingga aspek proses dan aspek sikap kurang mendapatkan perhatian yang cukup. Akibatnya pembelajaran MIPA menjadi “kering” dan membosankan. Pelajaran MIPA seolah dianggap terpisah dan terlepas dari realitas kehidupan sehari-hari.

Tantangan pembelajaran MIPA ke depan adalah bagaimana mencari bentuk pembelajaran MIPA dimana seluruh aspek yang tercakup didalamnya dapat dipelajari secara utuh. Konsep, prinsip dan teori tidak hanya diberikan dalam bentuk jadi, tapi diusahakan agar para siswa dalam pembelajaran juga menjalani proses mengalami dan menemukan pengetahuan tersebut. Dalam proses mengalami dan menemukan itulah, guru mempunyai kesempatan untuk memperhatikan dan membimbing sikap dan perilaku siswa. Apabila pembelajaran MIPA dilakukan dengan berpegang pada hakekat MIPA sendiri, maka sebenarnya pembelajaran MIPA tidak akan pernah mengasingkan peserta didik dari realitas kehidupannya.

Beberapa pemikiran yang bisa dilakukan untuk pembelajaran MIPA saat ini, agar pembelajaran MIPA bermakna dan berdampak bagi peserta didik adalah: Pertama, kreativitas guru untuk menyiasati kurikulum yang sedang berlaku. Karena apabila guru hanya mengajar sesuai dengan juklak atau juknis kurikulum, maka seperti yang diuraikan diatas, guru hanya cenderung mengejar penyelesaian materi ajar tanpa memperhatikan kesulitan yang dihadapi siswa. Untuk itu, guru perlu menyiasati kurikulum dengan cara memilih dan memilah materi yang penting bagi siswa dan memberikan materi tersebut secara berkelanjutan. Bahkan kalau perlu membuang materi yang tidak penting. Sehingga tidak terlalu banyak materi yang diberikan, tapi materi dapat diajarkan dengan lebih mendalam. Pembelajaran MIPA untuk ke depan harus mengarah pada aspek kedalaman dari pada aspek keluasan. Hal ini juga akan memberikan waktu yang lebih leluasa bagi guru dan siswa untuk bereksplorasi. Seiring dengan bergulirnya otonomi pendidikan, seharusnya sekolah lebih leluasa untuk mengolah kurikulum yang ada untuk disesuaikan dengan kebutuhan.

Kedua, inovasi guru dalam pembelajaran. Variasi metode pembelajaran memegang peranan penting untuk menarik minat siswa dalam pembelajaran MIPA. Inilah kiranya yang dibutuhkan saat ini, yaitu mengembalikan minat siswa pada pelajaran MIPA, mengingat selama ini pelajaran MIPA dianggap sebagai “momok” bagi sebagian besar siswa. Inovasi dalam metode pembelajaran dengan berbagai variasi sesuai dengan materi ajar, akan membuat siswa tidak jenuh atau bosan dalam mengikuti pembelajaran. Proses mengalami dan menemukan dapat dilakukan dengan latihan ataupun menurunkan rumus-rumus. Dengan memanfaatkan fasilitas Audio Visual untuk beberapa materi ajar, kiranya lebih menarik dari pada disampaikan dengan ceramah.

Demikian juga dengan metode observasi lapangan, dimana pembelajaran tidak melulu dilaksanakan di kelas, merupakan salah satu variasi pembelajaran yang akan membantu meningkatkan minat siswa terhadap pelajaran MIPA. Hal ini juga akan lebih memberi kesempatan kepada siswa untuk lebih banyak berekplorasi, selain mengurangi kejenuhan dalam pembelajaran.

Ketiga, mengaitkan materi ajar dengan peristiwa atau kejadian dalam kehidupan nyata sehari-hari. Hal ini penting untuk menghindari pelajaran MIPA hanya sebagai konsep atau teori belaka. Dengan menunjukkan keterkaitan MIPA dengan realitas kehidupan, akan menjadikan pelajaran MIPA bermakna bagi siswa. Siswa dapat menerapkan konsep atau teori yang dipelajarinya untuk memecahkan persoalan riil yang dihadapi dalam keseharian. Metode problem solving kiranya cukup mambantu dalam hal ini, dimana soal-soal yang diambil terkait dengan permasalahan nyata dalam kehidupan masyarakat. Dengan demikian pelajaran MIPA akan lebih membumi.@

HJ. Sriyanto
Guru Matematika di SMU Kolese Debritto
Jl. Laksda Adisucipto 161 Yogyakarta 55281

Tidak ada komentar:

Posting Komentar