MATHEMATICS

Rabu, 06 Agustus 2008

Membaca Kecemasan Anak Terhadap Matematika

Seringkali matematika dianggap sebagai “momok”, dipersepsi sebagai pelajaran yang sulit oleh sebagian siswa sekolah. Anak merasa deg-degan, cemas dan takut setiap kali mengikuti pelajaran matematika di sekolah. Bahkan ada anak yang karena begitu takutnya terhadap matematika, sampai “mandi keringat” ketika diminta untuk mengerjakan soal di papan tulis. Matematika bagi sebagian anak telah menimbulkan kecemasan tersendiri.

Ada beberapa hal yang kiranya dapat diajukan sebagai faktor penyebab timbulnya kecemasan anak terhadap matematika. Pertama, matematika sebagai salah satu bidang studi yang diajarkan di sekolah merupakan cabang ilmu yang spesifik. Berbeda dengan ilmu pengetahuan lain, matematika tidak mempelajari obyek-obyek yang secara langsung dapat ditangkap oleh indera manusia. Substansi matematika adalah benda-benda pikir yang bersifat abstrak. Walaupun pada awalnya matematika lahir dari hasil pengamatan empiris terhadap benda-benda konkret (geometri), namun dalam perkembangannya matematika lebih memasuki dunianya yang abstrak. Obyek matematika adalah fakta, konsep, operasi dan prinsip yang kesemuannya itu berperan dalam membentuk proses berpikir matematis, dengan salah satu cirinya adalah adanya alur penalaran yang logis. Sehingga apabila dibandingkan dengan bidang studi lain, matematika relatif dianggap lebih sulit, karena dibutuhkan konsistensi dalam mempelajarinya.

Kedua, persepsi yang berkembang dalam masyarakat bahwa matematika sulit, telah mengkooptasi pikiran sebagian anak. Sehingga anak akan beranggapan seperti demikian, ketika berhadapan dengan matematika. Pandangan bahwa matematika merupakan ilmu yang kering, abstrak, teoritis, banyak rumus yang sulit dan membingungkan, yang didasarkan atas pengalaman kurang menyenangkan ketika belajar matematika di sekolah, telah membangun persepsi negatif pada diri anak. Hal ini telah membangun jarak antara anak dengan matematika. Sehingga sebagai ilmu pengetahuan matematika tidak dipandang secara netral lagi.

Ketiga, pembelajaran matematika yang “kering”, monoton dan guru yang cenderung represif, membuat anak merasa tertekan. Anak cenderung menutup diri, kurang dapat bereksplorasi dan mengekspresikan dirinya dalam proses pembelajaran. Pembelajaran matematika pun akhirnya tidak menjadi media untuk melatih olah pikir, melainkan matematika dipahami dengan cara menghafal.
Keempat, tuntutan untuk mendapatkan nilai yang baik dalam pelajaran matematika dari orang tua dan juga guru, tanpa disadari telah membuat anak cenderung berorientasi pada hasil atau nilai yang tinggi dalam matematika, tetapi mengabaikan proses. Dan ketika anak mendapatkan hasil yang kurang memuaskan, mereka akan merasa tertekan dan menganggap dirinya bodoh. Meskipun nilai yang diperoleh baik, tapi pengetahuan yang dikuasainya sangat minim, karena secara konseptual memang sebenarnya anak tidak banyak paham.

Matematika memegang peranan yang cukup penting dalam kehidupan manusia. Sebenarnya hampir setiap hari manusia bersentuhan dengan matematika. Banyak yang telah disumbangkan matematika untuk kemajuan perababan manusia. Perkembangan teknologi dan juga ilmu pengetahuan lain, tidak lepas dari peranan matematika. Oleh karenanya mempelajari dan menguasai matematika dengan baik adalah sebuah keharusan. Permasalahannya sekarang, bagaimana anak-anak kita dapat mempelajari matematika dengan baik, kalau setiap kali berhadapan dengan matematika selalu merasa cemas dan ketakutan?
Membaca situasi demikian, dimana kecemasan anak terhadap matematika begitu besar, kiranya perlu untuk menghadirkan matematika yang lebih manusiawi. Sehingga kecemasan tersebut dapat dikurangi. Dan pada akhirnya nanti matematika kembali dipandang secara wajar, tidak dilihat sebagai “momok” yang menakutkan.

Beberapa pemikiran yang kiranya dapat disumbangkan untuk membantu mengurangi kecemasan anak terhadap matematika adalah: Pertama, bagaimana menumbuhkan kembali minat anak terhadap matematika. Ini dapat dilakukan apabila pelajaran matematika disajikan secara menarik. Selama ini matematika dianggap sebagai ilmu “kering” karena dalam pembelajarannya kurang menarik. Kurangnya inovasi dan kreatifitas guru dalam pembelajaran matematika menyebabkan anak bosan. Metode pembelajaran yang lebih variatif dan kaya, kiranya dapat membantu mengurangi kejenuhan anak dalam mempelajari matematika.
Kedua, perlunya guru untuk mengaitkan materi dengan peristiwa atau kejadian dalam kehidupan sehari-hari. Hal ini penting untuk menghindari pandangan bahwa matematika hanya melulu konsep/teori. Dengan menunjukkan keterkaitan matematika dengan realitas kehidupan, akan menjadikan pelajaran matematika bermakna bagi anak. Anak dapat menerapkan konsep/teori yang dipelajarinya untuk memecahkan persoalan riil yang dihadapi dalam keseharian. Dengan demikian anak melihat kegunaan matematika bagi kehidupan mereka.

Ketiga, perlunya menampilkan sisi lain matematika yang kurang dikenal anak dalam pembelajaran. Tuntutan dan beban kurikulum, seringkali mematikan kretifitas guru dan anak dalam pembelajaran matematika. Guru cenderung mengejar target penyelesaian materi, sehingga banyak sisi lain dari matematika yang tidak dihadirkan dalam pembelajaran. Akibatnya anak mengenal matematika tidak secara utuh. Matematika sebagai bagian integral dari kebudayaan manusia, mengandung dimensi kemanusiaan dan memiliki keindahannya tersendiri. Namun hal itu jarang sekali disentuh dalam pembelajaran matematika di sekolah. Sebagai contoh, sejarah matematika dengan segala pergulatan para tokohnya jarang dipelajari di sekolah. Padahal dari sini, anak bisa belajar membangun sikap dan minat yang positip terhadap matematika. Pengalaman penulis, di kelas matematika ternyata kami bisa tertawa bersama, ketika ada teman yang membacakan “puisi matematika”nya. Dari puisi yang ditulis dengan menggunakan istilah-istilah matematika ini, terlihat sejauh mana anak menguasai dan memahami konsep matematika. Dalam puisi tersebut konsep matematika berperan sebagai bahasa ungkap. Tanpa menguasai konsep matematika, anak akan kesulitan mengungkapkan idenya kedalam puisi matematika.

Keempat, perlunya keberpihakan guru kepada anak dalam pembelajaran matematika. Seringkali dalam pembelajaran terjadi dikotomi antara guru dan anak. Guru berperan sebagai subyek pembelajaran, sementara anak menjadi obyeknya. Dikotomi ini harus digeser, sehingga yang ada, baik guru maupun anak bersama-sama menjadi subyek pembelajaran. Guru dan anak bukanlah dua pihak yang saling berhadapan, karena jika demikian halnya akan terbentang jarak antara keduanya. Tetapi bagaimana guru dapat berperan sebagai teman yang berpihak pada anak, mau terbuka untuk mendengarkan, dan membantu setiap kesulitan yang dihadapi anak. Bukan berdiri sebagai pihak yang menghukum ketika anak dalam kesulitan. Kondisi demikian akan mendorong anak untuk terlibat aktif dalam proses pembelajaran, menggali secara lebih dalam potensi dan kemampuannya, serta dapat menumbuhkan sikap dan minat positip anak terhadap matematika.

Kelima, dibutuhkan peran serta aktif orangtua dalam membantu anak mengatasi kecemasannya terhadap matematika. Seringkali tanpa disadari tuntutan orang tua agar anak mendapatkan nilai yang baik, membuat anak merasa tertekan dan terbebani. Kadang orangtua tidak memahami kesulitan yang dihadapi anak. Sebaliknya orangtua malah memperparahnya dengan memarahi dan menyalahkan, akibatnya anak semakin frustasi dan semakin membenci matematika. Sebenarnya yang dibutuhkan anak dari orangtua adalah pengertian, keberpihakan dalam wujud dukungan, dan pendampingan. Orangtua dapat bekerjasama dengan guru di sekolah untuk mengetahui sejauh mana perkembangan anak, mendiskusikan kesulitan anak. Hal ini penting agar ada sinergi antara guru dan orangtua dalam pendampingan anak.

Akhirnya, anak hanya dapat berkembang secara optimal, dapat mengekspresikan dirinya dengan penuh kreatifitas, jika ia tidak menyimpan kecemasan. Sebab anak yang cemas berarti dia tidak bebas, dan ketika anak tidak bebas maka dia tidak bisa tumbuh dan berkembang secara optimal. Karena hanya orang bebaslah yang mampu mencipta, berkreasi dan mengembangkan dirinya secara optimal.@

HJ. Sriyanto
Guru Matematika di SMU Kolese Debritto
Jl. Laksda Adisucipto 161 Yogyakarta 55281



Tidak ada komentar:

Posting Komentar