PMRI, Benih Pembelajaran Matematika yang Bermutu
Sutarto Hadi
Guru matematika idealnya harus mengambil peran sebagai mediator, yaitu tidak “menyuapkan” informasi kepada siswa-siswanya, tetapi memberikan kesempatan untuk membangun dan bertukar pikiran. Sebagai seorang mediator, guru menempatkan ide-ide siswa ke dalam konteks pelajaran, menghubungan pemikiran-pemikiran yang muncul satu dengan lainnya, dan membantu siswa memformulasikan dan merealisasikan ide-ide mereka. Siswa-siswa akan mengalihkan perhatiannya dari pelajaran yang disampaikan guru jika mereka merasa pelajaran tersebut kurang penting untuk menghadapi tes tertulis, kemudian secara khusus (mengambil jalan pintas) mempelajari rumus-rumus yang ditulis di papan tulis. Oleh karena itu, untuk mencapai menguasaan pelajaran, reorientasi pendidikan perlu diubah, di mana dalam evaluasi atau pengujian secara simultan harus ada keseimbangan antara “soal-soal hitungan” dan “soal-soal berpikir”. Demikian disampaikan oleh Profesor Dr Christa Kaune dari Osnabrueck University, Jerman. Kaune diundang sebagai pembicara tamu pada Seminar Nasional Pendidikan Matematika di Universitas Sanata Dharma pada 6 dan 7 Oktober 2006.
Seminar yang mengambil tema “Peningkatan Mutu Pembelajaran Matematika Sekolah: Menuju Indonesia Cerdas 2020” ini juga menampilkan pembicara utama dari Tim PMRI, yaitu Prof Dr Zulkardi dari Unsri Palembang, Dr Yansen Marpaung dan Drs Susento M.Si. dari USD Yogyakarta, Dr Siti M. Amin dari UNESA Surabaya, dan Dr Sutarto Hadi M.Sc. dari Unlam Banjarmasin. Topik yang diangkat pembicara utama ini berkaitan dengan upaya meningkatkan kualitas pembelajaran matematika melalui peningkatan efektivitas pembelajaran.
Marpaung mengangkat tema “Pendekatan Multikultural dalam Pembelajaran Matematika.” Menurutnya, pengalaman budaya berpengaruh pada proses berpikir anak. Pendekatan konstruktivisme maupun realistik yang sekarang diujicobakan dan diimplementasikan pada beberapa sekolah dasar dan madrasah ibtidaiyah di beberapa kota di Indonesia menekankan pentingnya masalah kontekstual atau realistik dalam pembelajaran matematika.
Sejalan dengan Marpaung, Sutarto Hadi mengemukakan budaya kelas sebagai salah satu faktor yang berpengaruh dalam pembelajaran. Budaya kelas tumbuh atau dibangun dari interaksi sosial di dalam kelas dan guru memiliki pengaruh paling dominan dalam membangun budaya kelas tersebut. Perilaku, sikap, dan kepercayaan yang dimiliki guru akan berpengaruh terhadap budaya kelas yang terbentuk. Sebagai contoh, jika guru memiliki kepercayaan yang rendah terhadap siswa, akan sulit bagi guru memercayakan proses pembelajaran pada aktivitas siswa, seperti diskusi, mengemukakan ide, menemukan sendiri konsep matematika. Guru akan cenderung mendominasi proses pembelajaran. Menurut Gravemeijer (1997), budaya kelas merupakan bentuk-bentuk kelas yang dicirikan oleh “menjelaskan dan pembenaran” dalam artian siswa diharapkan dapat menjelaskan dan membenarkan ide-ide serta penyelesaian yang mereka berikan terhadap suatu persoalan matematika.
Sutarto memberikan contoh pendekatan yang dapat dilakukan guru untuk mendorong siswa mengemukakan ide dan gagasannya. (1) Memulai pelajaran dengan memberikan permasalahan yang bermakna yang mendorong keingintahuan siswa atau menantang siswa untuk berpikir. Soal yang diberikan akan lebih baik dalam bentuk pemecahan masalah dan sesuai dengan taraf berpikir siswa. (2) Mintalah siswa untuk membuat kelompok-kelompok kecil terdiri dari 4 atau 5 orang dalam setiap kelompok, dan berdiskusi menyelesaikan soal yang diberikan. (3) Setiap kelompok menampilkan hasil pekerjaannya dalam bentuk poster dan dipajang di dinding kelas agar lebih mudah dibaca/dipelajari oleh siswa lain. (4) Berikan kesempatan pada kelompok-kelompok untuk menjelaskan gagasannya pada seluruh kelas secara lisan.
Prof Dr Zulkardi menjelaskan tentang peran soal kontekstual dalam pembelajaran matematika. Menurutnya, pembelajaran matematika akan lebih bermakna dan menarik bagi siswa jika guru menghadirkan masalah-masalah kontekstual dan realistik, yaitu masalah-masalah yang sudah dikenal, dekat dengan kehidupan riil sehari-hari siswa. Masalah konstekstual dapat digunakan sebagai titik awal pembelajaran matematika dalam membantu siswa mengembangkan pengertian terhadap konsep matematika yang dipelajari dan juga bisa digunakan sebagai sumber aplikasi matematika. Masalah kontekstual dapat digali dari (1) Situasi personal siswa; situasi yang berkenaan dengan kehidupan sehari-hari siswa, baik di rumah dengan keluarga, dengan teman sepermainan, dan sebagainya. (2) Situasi sekolah/akademik; situasi yang berkaitan dengan kehidupan akademik di sekolah dan kegiatan-kegiatan yang berkait dengan proses pembelajaran. (3) Situasi masyarakat; situasi yang terkait dengan kehidupan dan aktivitas masyarakat sekitar siswa tinggal. (4) Situasi saintifik/matematika; situasi yang berkaitan dengan fenomena substansi secara saintifik atau berkaitan dengan matematika itu sendiri.
Menurut HJ Sriyanto (Kompas, 30 Oktober 2006) gagasan dan pemikiran yang disampaikan para pakar pendidikan matematika dalam seminar di Yogyakarta merupakan upaya menebar “virus” pembelajaran matematika yang bermutu. Gagasan dan pemikiran tersebut memberikan harapan dan menumbuhkan optimisme akan masa depan pembelajaran matematika di sekolah yang lebih baik dan bermutu. Beberapa pemikiran dikemukan oleh Sriyanto mengenai tantangan dalam implementasi inovasi dalam pembelajaran matematika tersebut:
(1) Perlu penyelarasan atau penyesuaian dalam mengimplementasikan gagasan dan pemikiran tersebut dengan konteks masing-masing sekolah. Hal ini membutuhkan pemahaman yang mendalam dari para guru mengenai konteks siswa, sekolah, masyarakat, dan budaya yang “hidup” di lingkungan sekolah masing-masing.
(2) Pemerintah semestinya konsisten dengan apa yang telah dibuat, misalnya UU Sisdiknas yang memberikan kewenangan kepada guru untuk melakukan evaluasi terhadap siswanya, atau yang terbaru dengan KTSP (Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan), karena menurut Zulkardi dalam KTSP tersebut juga memuat pernyataan bahwa dalam setiap kesempatan pembelajaran matematika hendaknya dimulai dengan pengenalan masalah yang sesuai dengan situasi (contextual problem).
(3) Perlu upaya membantu guru mengusahakan bahan ajar dalam pembelajaran matematika yang kontekstual dan realistik. Sejauh ini buku ajar matematika yang dipakai di sekolah jauh sekali dari konsep matematika konstruktif atau realistik. Guru mau tidak mau dituntut untuk bekerja keras dan terus belajar. Para guru perlu mendapat dukungan dari sekolahnya, peneliti, LPTK, dan sebagainya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar