Pendidikan MIPA
Menebar Virus Pembelajaran Matematika yang Bermutu
HJ Sriyanto
Sepercik harapan akan pembelajaran matematika di sekolah yang lebih baik dan bermutu terbesit dari Yogyakarta. Sudah bukan zamannya lagi matematika menjadi momok yang menakutkan bagi siswa di sekolah.
Jika selama ini matematika dianggap sebagai ilmu yang abstrak dan kering, melulu teoretis dan hanya berisi rumus-rumus, seolah berada "di luar"—mengawang jauh dan tidak bersinggungan dengan realitas kehidupan siswa—kini saatnya bagi siswa untuk akrab dan familier dengan matematika.
Matematika realistik. Matematika yang dikonstruksi sesuai dengan konteks siswa. Dengan demikian, matematika akan lebih dekat dan bermakna bagi siswa.
Itulah salah satu benang merah dari seminar nasional pendidikan matematika dengan tema "Peningkatan Mutu Pembelajaran Matematika Sekolah Menuju Indonesia Cerdas 2020" yang diselenggarakan Pusat Studi Pembelajaran Matematika Universitas Sanata Dharma Yogyakarta, 6-7 Oktober 2006.
Mengajar versus belajar
Pembelajaran matematika oleh sekolah di Indonesia sejauh ini masih didominasi oleh pembelajaran konvensional dengan paradigma mengajarnya.
Siswa diposisikan sebagai obyek, siswa dianggap tidak tahu atau belum tahu apa-apa, sementara guru memosisikan diri sebagai yang mempunyai pengetahuan. Guru ceramah dan menggurui, otoritas tertinggi adalah guru. Penekanan yang berlebihan pada isi dan materi diajarkan secara terpisah-pisah. Materi pembelajaran matematika diberikan dalam bentuk jadi.
Dan, semua itu terbukti tidak berhasil membuat siswa memahami dengan baik apa yang mereka pelajari.
Penguasaan dan pemahaman siswa terhadap konsep-konsep matematika lemah karena tidak mendalam. Akibatnya, prestasi belajar matematika siswa rendah.
Hampir setiap tahun matematika dianggap sebagai batu sandungan bagi kelulusan sebagian besar siswa. Selain itu, pengetahuan yang diterima siswa secara pasif menjadikan matematika tidak bermakna bagi siswa.
Menurut Marpaung (2003), paradigma mengajar seperti di atas tidak dapat lagi dipertahankan dalam pembelajaran matematika di sekolah.
Sudah saatnya paradigma mengajar diganti dengan paradigma belajar. Paradigma belajar ini sejalan dengan teori konstruktivisme. Dalam paradigma belajar, siswa diposisikan sebagai subyek. Pengetahuan bukan sesuatu yang sudah jadi, tapi suatu proses yang harus digeluti, dipikirkan, dan dikonstruksi siswa, tidak dapat ditransfer kepada mereka yang hanya menerima secara pasif.
Dengan demikian, siswa sendirilah yang harus aktif. Paradigma belajar juga seturut dengan teori Realistic Mathematics Education (RME) yang dikembangkan Freudenthal bahwa pengetahuan
matematika dikreasi, bukan ditemukan sebagai sesuatu yang sudah jadi.
Oleh karena itu, siswa harus secara aktif mengkreasi (mengkreasi kembali) pengetahuan yang ingin dimilikinya. Tugas guru bukan lagi aktif mentransfer pengetahuan, tetapi menciptakan kondisi belajar dan merencanakan jalannya pembelajaran dengan materi yang sesuai dan representatif serta realistik bagi siswa sehingga siswa memperoleh pengalaman belajar yang optimal.
Meningkatkan mutu pembelajaran matematika
Pembelajaran matematika di sekolah dapat efektif dan bermakna bagi siswa jika proses pembelajaran matematika memerhatikan konteks siswa. Konteks nyata dari kehidupan siswa yang mencakup latar belakang keluarga, keadaan sosial, politik, ekonomi, budaya, dan kenyataan-kenyataan hidup yang lain. Pengertian-pengertian yang dibawa siswa ketika memulai proses belajar, pendapat dan pemahaman yang diperoleh dari studi sebelumnya atau dari lingkungan hidup mereka, juga perasaan, sikap dan nilai-nilai yang diyakini, itu semua merupakan konteks nyata siswa (Drost, 2002). Konsekuensinya, dikaitkan dengan kecenderungan perubahan pembelajaran matematika ke arah pendekatan konstruktif atau realistik, maka pembelajaran matematika harus dilakukan sedemikian rupa sehingga setiap siswa dengan berbagai latar belakang dan konteksnya mendapat kesempatan untuk mengonstruksi pengetahuannya dengan strategi sendiri.
Menurut Howard Gardner, setiap orang memiliki kecerdasan ganda yang meliputi kecerdasan verbal/linguistic, musical/rhythmic, logical/mathematical, visual/spatial, bodily/kinesthetic, intrapersonal/introspective, interpersonal/sosial, dan naturalist/physical world, tapi yang menonjol hanya beberapa saja. Dan, orang bisa belajar apa pun dengan mudah, kalau materi/bahan disajikan sesuai dengan intelegensi yang menonjol pada orang tersebut. Konsekuensinya, pembelajaran perlu dilakukan sedemikian rupa sehingga siswa mendapat kesempatan mengembangkan kecerdasannya yang dominan secara optimal dan kecerdasan lainnya secukupnya untuk mendukung kecerdasan dominan yang dimiliki. Guru perlu mengajar dengan berbagai variasi metode pembelajaran sehingga setiap siswa merasakan disapa dan dikembangkan sesuai dengan intelegensi mereka.
Prof Dr Christa Kaune dari Osnabrueck University, salah satu pembicara dalam seminar, mengemukakan peranan metakognisi dalam pembelajaran matematika sebagai suatu alat untuk memperbaiki mutu pembelajaran. Kemampuan metakognisi merupakan kemampuan untuk melihat kembali proses berpikir yang dilakukan seseorang. Kegiatan metakognisi terdiri dari planning-monitoring-reflection. Dalam aktivitas metakognisi tersebut, peran guru sebagai mediator dan bukan "menjejalkan" informasi kepada siswa. Guru mendorong siswa untuk membangun dan mengembangkan pemikiran/penalaran mereka sendiri. Sebagai mediator, guru membantu mengarahkan gagasan/ide/pemikiran siswa sesuai dengan konteks pelajaran, membantu siswa melihat hubungan antara satu pemikiran dan pemikiran yang lain, serta mendorong siswa untuk memformulasikan dan merealisasikan gagasan mereka.
Salah satu faktor yang berperan dalam pembelajaran matematika adalah budaya kelas. Budaya kelas tumbuh atau dibangun dari interaksi sosial di dalam kelas dan guru memiliki peran paling dominan dalam membangun budaya kelas tersebut. Perilaku, sikap, dan kepercayaan yang dimiliki guru akan berpengaruh terhadap budaya kelas yang terbentuk. Sebagai contoh, jika guru memiliki kepercayaan yang rendah terhadap siswa, akan sulit bagi guru memercayakan proses pembelajaran pada aktivitas siswa, seperti diskusi, mengemukakan ide, menemukan sendiri konsep matematika. Guru akan cenderung mendominasi proses pembelajaran. Menurut Gravemeijer (1997), budaya kelas merupakan bentuk-bentuk kelas yang dicirikan oleh "menjelaskan dan pembenaran" dalam artian siswa diharapkan dapat menjelaskan dan membenarkan ide-ide serta penyelesaian yang mereka berikan terhadap suatu persoalan matematika.
Pembelajaran matematika akan lebih bermakna dan menarik bagi siswa jika guru menghadirkan masalah-masalah kontekstual dan realistik, yaitu masalah-masalah yang sudah dikenal, dekat dengan kehidupan riil sehari-hari siswa. Masalah kontekstual dapat digunakan sebagai titik awal pembelajaran matematika dalam membantu siswa mengembangkan pengertian terhadap konsep matematika yang dipelajari dan juga bisa digunakan sebagai sumber aplikasi matematika. Prof Dr Zulkardi menjelaskan, menurut De Lange, masalah kontekstual dapat digali dari (1) Situasi Personal Siswa; situasi yang berkaitan dengan kehidupan sehari-hari siswa, baik di rumah dengan keluarga, dengan teman
sepermainan, dan sebagainya. (2) Situasi Sekolah/Akademik; situasi yang berkaitan dengan kehidupan akademik di sekolah dan kegiatan-kegiatan yang berkait dengan proses pembelajaran. (3) Situasi Masyarakat; situasi yang terkait dengan kehidupan dan aktivitas masyarakat sekitar di mana siswa tinggal. (4) Situasi Saintifik/matematik; situasi yang berkaitan dengan fenomena substansi secara saintifik atau berkaitan dengan matematika itu sendiri.
Dalam proses pembelajaran matematika, tentu saja sering kali siswa juga mengalami kesulitan dengan aktivitas belajarnya. Oleh karena itu, guru perlu memberikan bantuan/topangan kepada siswa dalam pembelajaran matematika. Seperti diungkapkan oleh Susento, pemberian topangan memungkinkan siswa memecahkan masalah, melaksanakan tugas atau mencapai sasaran yang tidak mungkin diusahakan siswa sendiri. Topangan merupakan semua strategi yang digunakan guru dalam membantu usaha belajar siswa melalui campur tangan yang bersifat memberi dukungan; bentuknya bisa berbagai macam, tetapi semuanya bertujuan untuk memastikan agar siswa mencapai sasaran yang berapa di luar jangkauannya. Topangan yang bisa diberikan guru, misalnya, pemberian petunjuk kecil, pemberian model prosedur penyelesaian tugas, pemberitahuan tentang kekeliruan dalam langkah pengerjaan soal, mengarahkan siswa pada informasi tertentu, menawarkan sudut pandang lain dan usaha menjaga agar rasa frustrasi siswa terhadap tugas tetap berada pada tingkat yang masih dapat ditanggung. Topangan menjadi penanda interaksi sosial antara siswa dan guru yang mendahului terjadinya internalisasi pengetahuan, keterampilan, dan disposisi, dan menjadi alat pembelajaran yang dapat mengurangi keambiguan sehingga meningkatkan kesempatan siswa mengalami perkembangan (Roehler & Cantlon, 1997).
Implementasi dan tantangan
Gagasan dan pemikiran yang disampaikan oleh para pakar pendidikan matematika di atas memberikan sebersit harapan dan menumbuhkan optimisme akan masa depan pembelajaran matematika di sekolah yang lebih baik dan bermutu. Namun, masih juga tersisa keraguan dalam implementasinya ketika pulang kembali di sekolah dan menatap realitas pembelajaran matematika di kelas-kelas kita. Bagaimana mengimplementasikan gagasan dan pemikiran itu dalam konteks sekolah di Indonesia, mengingat konteks siswa kita yang sangat plural dan beragam? Kiranya perlu penyelarasan atau penyesuaian dalam mengimplementasikan gagasan dan pemikiran tersebut dengan konteks masing-masing sekolah. Dan, hal ini bukanlah pekerjaan yang mudah, membutuhkan pemahaman yang mendalam dari para guru mengenai konteks siswa, sekolah, masyarakat, dan budaya yang "hidup" di lingkungan sekolah masing-masing.
Belum lagi sikap ambigu pemerintah berkait dengan KBK atau yang sekarang kurikulum tingkat satuan pendidikan (KTSP) dan ujian nasional (UN)-nya. Bagaimana nanti jika guru mengembangkan model pembelajaran matematika konstuktif atau realistik, seperti disarankan di atas, tetapi siswa dievaluasi dengan menggunakan soal-soal UN yang berbentuk pilihan ganda dan jauh dari model soal kontekstual atau realistik? Bagaimana nanti kalau banyak siswa yang tidak lulus? Kekhawatiran semacam itu tetap saja menghinggapi para guru.
Pemerintah semestinya konsisten dengan apa yang telah dibuat, misalnya UU Sisdiknas yang memberi kewenangan kepada guru untuk melakukan evaluasi terhadap siswa ajarnya, atau yang terbaru dengan KTSP di mana dalam KTSP tersebut juga mensyaratkan bahwa dalam setiap kesempatan pembelajaran matematika hendaknya dimulai dengan pengenalan masalah yang sesuai situasi (contextual problem). Dengan masalah kontekstual, peserta didik secara bertahap dibimbing untuk menguasai konsep matematika. Namun, kalau kemudian pemerintah tetap memberlakukan UN, apakah ini tidak kontradiktif?
Tantangan lain adalah bagaimana guru mengusahakan bahan ajar dalam pembelajaran matematika yang kontekstual dan realistik. Sejauh ini buku ajar matematika yang dipakai di sekolah jauh sekali dari yang namanya konsep matematika konstruktif atau realistik. Guru mau tidak mau dituntut untuk bekerja keras dan terus belajar. Masalah kontekstual dan realistik tidak mungkin ditemukan jika guru hanya diam—berpangku tangan—guru mesti terus bergerak, menggali, dan terus-menerus berusaha membumikan konsep matematika dengan menemukan hubungan atau keterkaitan bahan ajar matematika dan persoalan nyata dalam kehidupan sehari-hari. Tantangan bahan ajar yang belum tersedia sebenarnya juga bisa menjadi peluang bagi guru untuk menyusun bahan ajar sendiri. Guru satu dengan yang lain bisa berkolaborasi sehingga memperkaya satu sama lain. Bukan hal yang
mustahil jika hasil kolaborasi kelak menjadi buku materi ajar matematika realistik yang akan semakin memperkaya khazanah buku teks siswa di Indonesia.
Ke depan, kerja sama antara para guru, para peneliti pendidikan matematika, dan lembaga pendidikan tenaga keguruan (LPTK) yang memiliki concern terhadap pendidikan matematika realistik sangat mutlak dibutuhkan untuk bersama-sama menyemaikan benih yang telah ditaburkan.
Baik jika setiap LPTK bermitra dengan sekolah, sebagai sekolah dampingan misalnya, sehingga pengembangan pembelajaran matematika yang bermutu dapat terwujud. Bagaimanapun guru tidak bisa berjalan sendirian. Butuh dukungan dari sekolah, peneliti, LPTK, dan sebagainya. Para guru, bersiaplah! Virus itu sudah ditebar, tinggal menunggu waktu menjangkitimu!
HJ Sriyanto
Guru SMA Kolese De Britto Yogyakarta